Thursday, September 20, 2012

asfala safilin

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Berbeda dengan ajaran Islam, dalam ajaran Kristiani, manusia itu memiliki dosa asal. Karenanya, tema penyelematan (salvation) menjadi salah satu inti dalam ajarannya. Melalui penyelamatan dari dosa asal, maka manusia akan mengalami proses untuk menuju lepada-Nya, dan untuk itu datangnya Sang Juru Selamat (Messiah) menjadi harapannya. Sebaliknya dalam Islam, manusia itu diciptakan dengan kesempurnaan (ahsan taqwim) atau fitri yang berarti suci dan bersih. Namun demikian manusia akan dapat “terpeleset” menjadi asfala safilin (seburuk-buruknya makhluk) jika ia ingkar lepada-Nya. Dari titik fitri ke ajal nanti terbentang dinamika “penyelamatan” agar manusia dapat kembali lepada-Nya (ilaihi roji’un). Orang Jawa bilang kembali ke sangkan paraning dumadi.
Mengapa manusia dapat menjadi asfala safilin? Jawabnya sederhana saja, yakni jika manusia tidak lagi menghamba kepada Tuhan. Bukankah Tuhan sudah tegas dan jelas berfirman bahwa “Aku ciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya”, dan untuk itu “Aku turunkan dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu?” Islam dalam konteks ini yang arti harafiahnya adalah penyerahan diri. “Agar manusia dapat kembali kepadaKu, maka Aku perintahkan ia hanya untuk beribadah kepadaKu”. Dengan kata lain, ibadah dalam arti harafiahnya adalah penghambaan diri. Ibadah dapat berbentuk khusus (mahdoh) dan berbentuk ibadah “umum”.
Ibadah mahdoh hanyalah “metode” dan bukan tujuan. Ibarat orang mau naik pohon, maka ibadah mahdoh hanya “tangga” untuk menuju ke sana. Sialnya, manusia banyak yang mempersoalkan dan mempertentangkan soal “tangga” itu mati-matian dan lupa naik ke atas pohon. Karena Tuhan sudah “merasa” menciptakan manusia dalam keadaan yang sebaik-baiknya serta sudah menurunkan “metode”-Nya, maka Allah “berani” memberi tugas kepada manusia agar bertindak sebagai khalifah, meski pada awal penciptaan disertai protes berat para malaikat kepada Allah.
Kembali kepada tugas utama manusia untuk beribadah. Dalam Islam jelas diajarkan bahwa inti utama ibadah adalah penghambaan diri hanya kepada Allah. Silakan manusia melakukan apa saja (jihad dan ijtihad), hanya saja yang harus diingat adalah bahwa “rumusnya” harus pasti, bahwa segala perbuatan itu harus menghamba kepada-Nya dan tentu saja harus dikembalikan kepada-Nya. Ini adalah penyerahan total yang tidak dapat ditawar lagi. Mengapa manusia akhirnya banyak yang menjadi asfala safilin, bahkan lebih jelek dari binatang? Jawabnya pasti karena dalam beribadah manusia banyak yang menjalaninya secara keliru, yakni tidak lagi menghamba kepada Allah, namun justru menghamba kepada “agama” itu sendiri, menghamba kepada syariat, bahkan menghamba kepada harta, manusia, dan kekuasaan. Padahal firman Allah sudah jelas, yakni iyya ka na’bud wa iyya ka nasta’in, hanya kepada-Mu aku menyembah (beribadah) dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan.
Manusia yang tidak menghamba kepada Allah dipastikan ia juga tidak akan dapat kembali kepada-Nya, karena memang ia sudah tidak manunggal lagi sejak awal. Manusia yang tidak menghamba kepada Allah adalah orang yang banyak dibebani ego pribadi, dan belum sampai kepada kesadaran “diri yang sejati”. Dalam Islam ada istilah wa fi sirri ana. Dalam “sirr” ada “aku sejati”. Jika “aku sejati” ini pecah menjadi ego-ego pribadi, maka manusia sudah dikuasai setan. Ia hanya mencari kenikmatan untuk ego pribadi itu, dan lupa memberi “makan” kepada “aku sejati”. Padahal memberi makan kepada aku sejati akan jauh lebih nikmat dari kekayaan duniawi. Orang yang belum pernah mencapai tataran ini pasti tidak percaya bahwa makan yang sejati ini akan memberikan kenikmatan dan ketenteraman yang luar biasa yang tidak pernah habis-habisnya.
Dalam Islam tidak dilarang mencari kekayaan duniawi sejauh itu dapat ditransformasikan menjadi cahaya. Kekayaan duniawi adalah benda wadag yang kasar sehingga tidak dapat dibawa mati. Agar benda duniawi dapat dibawa mati maka harus dilembutkan bahkan diubah menjadi cahaya. Karenanya banyak orang yang masih menyangsikan apakah hadis Nabi yang mengatakan “carilah dunia seakan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah seakan kamu akan mati besok pagi” banyak diragukan orang. Apakah benar ini kata Nabi?
Menghamba kepada Allah wujudnya adalah melayani ciptaan-Nya. Jika manusia hanya untuk dirinya sendiri dan tidak melayani ciptaan-Nya, maka ia tidak akan kembali kepada-Nya, apalagi menikmati surganya. Manusia hanya dapat dikelompokkan sebagai penghuni neraka dan penghuni surga. Jika manusia hanya melayani dirinya sendiri, apalagi dengan cara curang dan korup, maka pasti ia masuk dalam golongan penghuni neraka. Karena Allah saja maha rahman dan rahim, mestinya manusia juga demikian. Hanya karena hijab atau tabir, manusia menjadi tertutupi hingga tidak mengenal Allah yang sejati, kendati secara formal ia beragama. Manusia bisa saja beragama formal dengan khusu’ yang ditandai (misalnya) oleh pakaian atau dahinya yang hitam legam, namun ia barangkali tetap “atheis”, karena tidak percaya sifat-sifat-Nya, janji-janji-Nya, keagungan-Nya, dst, hingga ia terperosok kepada formalisme sempit. Ia bisa saja menjadi “sekuler” karena tidak mendayagunakan pengetahuan dan praktek keberagamaannya untuk melayani ciptaan-Nya. Artinya ia hanya puas telah merasa menyembah Allah dan merasa beragama, meski agamanya tidak berdampak terhadap kehidupan di sekitarnya. Artinya ia hanya mementingkan “input” dan bukan “output” dalam beragama.
Padahal manusia itu diciptakan oleh Allah dari cahaya yang terpuji, dan Allah itu sendiri adalah cahaya di atas cahaya, Nur ‘ala nur (Q.S. 24 : 35), dan dalam bahasa Arab ada istilah al-haqiqah al-muhammadiyyah atau Nur Muhammad yang lebih dahulu ada sebelum Nabi Adam diciptakan Allah. Selain diciptakan dari sumber yang sama, cahaya Nur Muhammad, manusia juga diberi oleh Allah kelengkapan dan perangkat sebagai “penjaga” dirinya. Dalam istilah Jawa ada sebutan sedulur papat kelima pancer. Sejak lahir manusia sudah dijaga oleh kakang kawah, adi ari-ari, serta ada Jibril, Mikhail, Israfil dan Izrail. Malaikat yang diciptakan Allah merupakan “alat kelengkapan” atau manajemen Allah atas kehidupan manusia. Malaikat diciptakan dari cahaya sehingga mereka hanya tunduk kepada Allah, serta tidak memiliki akal dan nafsu seperti manusia. Selanjutnya dalam perjalanan hidupnya penjagaan itu terus diberikan Allah kepada manusia.
Kekuatan Jibril sebagai alat manajemen Allah adalah sebagai pemberi informasi kepada manusia, dan itu ada dalam rohani manusia untuk menerima limpahan cahaya-Nya. Jika manusia sudah diberi informasi, mestinya ia harus berada di jalan-Nya. Dengan kata lain, Jibril tetap “stand by” dan bertugas hingga detik ini. Selanjutnya sang peniup terompet Isrofil, ia adalah penggengam alam semesta dan Mikhail yang akan melengkapinya sebagai pemelihara alam semesta serta membagikan rezeki kepada semua makhluk. Akhirnya Izroil adalah malaikat yang tidak dapat kita tolak kehadirannya untuk menjemput kita menghadap Allah. Masalahnya jemputan itu akan kembali kepada-Nya atau tidak, tergantung amal perbuatan kita.
Lewat manajemen Allah itulah menjadi jelas bahwa sejak dilahirkan dalam keadan fitri sampai ajal maka akan terbentang proses “revolusioner dan evolusioner” manusia untuk menunaikan tugasnya sebagai khalifah. Untuk itu manusia harus “Islam” yakni menyerahkan secara total hidupnya hanya untuk menghamba-Nya, dan iman, yang berarti percaya. Jika orang beriman maka ia akan amanah dan mukmin (mengamankan). Dengan kata lain, para pemimpin yang membuat kerusakan di muka bumi ini bukan orang yang beriman. Ia bisa saja menjual negara kepada orang asing dengan berbagai bentuknya baik yang halus atau yang kasar serta melukai rakyatnya sendiri. Ia bisa saja dalam dadanya hanya penuh “ke-aku-annya” dan di dadanya tidak penuh dengan “rakyat”, apalagi Tuhan. Ia akan menghamba kepada kekuasaan, politik an sich, dan harta benda lainnya. Pemimpin atau pejabat yang tidak beriman tidak dapat menjadi seorang yang mukmin, karena meski ada dia, rakyat tetap tidak aman hartanya, jiwanya dan martabatnya. Bagi kita yang paham, kita akan tertawa ngakak jika ada seorang pejabat yang korup tiba-tiba saja ditunjuk menjadi amirul mukminin, meski “hanya” untuk memimpin rombongan jamaah haji, apalagi memimpin “rombongan” manusia dalam bernegara.
Padahal orang yang tidak beriman tidak akan diseru oleh Allah. Bacalah dalam Quran, maka akan terbaca bahwa Allah banyak memanggil dan menyeru kepada orang-orang beriman. Maka jelaslah bahwa jika negara masih terus dikelola dengan cara yang korup, maka mereka akan termasuk orang yang tidak beriman, sekaligus kafir.
Kata “kafir” bukan hanya untuk sebutan bagi orang yang tidak percaya Tuhan, namun juga bagi mereka yang beragama, namun menutup diri terhadap nikmat Allah dan nasehat orang lain. Bagaimana tidak kufur nikmat jika dianugerahi negara yang kaya raya namun disia-siakan? Bagaimana mau menerima nasehat orang lain jika para pemimpin tidak pernah mendengarnya? Dalam konteks kenegaraan, kecerdasan manusia untuk merohanikan apa yang ada pada dirinya (harta dan kekuasaan), maka akan lebih mudah mendekat dan masuk ke dalam cahaya Allah. Itulah cahaya di atas cahaya.

No comments: